Pribadi dan Martabat Buya Hamka

Judul               : Pribadi dan Martabat Buya Hamka
Penulis            : Rusydi Hamka
Jml Halaman  : 387 hal
Penerbit          : PT Mizan Publika

Rusydi Hamka selaku pengarang buku ini, sekaligus sebagai anak kedua dari pasangan Buya Hamka dan Ummi Siti Raham. Buku yang dikarangnya ini menceritakan tentang pribadi Buya Hamka yang sangat menakjubkan. Bagi orang yang telah membaca buku ini, menyadari bahwa Buya Hamka merupakan sosok pribadi yang sangat berpegang teguh terhadap pendirian, tegas, disiplin, dan amanah dalam menjalankan tanggung jawab. Selain itu, beliau sangat menjunjung tinggi martabat (muru’ah) dirinya di muka umum
            Buku ini juga menggambarkan kehidupan awal Buya Hamka dari keluarga yang sederhana dan serba kekurangan. Bahkan untuk sembahyang pun, mereka hanya memiliki satu buah sarung untuk dipakai bergantian jika ingin berjamaah di masjid yang tergambar pada kalimat “Kain untuk sembahyang berganti-ganti kami memakainya”. Kebutuhan sehari-hari mereka cukupi dengan upah menulis dari hasil tulisan Buya Hamka dari beberapa karangannya. Namun ini masih tidak dapat mencukupi, sehingga Ummi yang merupakan isteri beliau harus menjual emas dan kain-kain kesayangan Ummi. Isterinya sangatlah setia dan mendukung segala hal yang dilakukan suaminya. Ummi selalu memberi masukkan dan jalan keluar terhadap keputusan yang akan diambil Buya. Selain itu, Ummi sangat memerhatikan penampilan Buya di setiap touring dakwah yang akan dilakukan di berbagai daerah. Segala baju terbaik dan rapi disiapkan agar Buya terlihat berwibawa di muka umum.
Beliau bukan pedagang, tidak pula pegawai kantor yang menerima gaji tiap bulan. Orang mengenal Buya hanya sebagai “orang siak”. Suatu istilah yang digunakan di Minangkabau membangsakan orang pandai dalam ilmu agama dan ahli ibadah. Karirnya dimulai dimulai ketika beliau menjadi pelopor Gerakan Islam “Kaum Muda” di Minangkabau sepulang berhaji dari Makkah. Beliau turut serta dalam penyebaran paham Muhammadiyah. Selain itu, beliau beliau juga menjadi Pegawai Tinggi Kementerian Agama Golongan F yang ditugaskan menjadi dosen di berbagai perguruan tinggi dan universitas Islam di Jakarta, Yogyakarta dan Universitas Muhammadiyah Fakultas Hukum dan Filsafat Padang Panjang. Kemudian, karirnya terus menanjak sampai beliau terpilih menjadi ketua MUI. Sejak itu, Buya selalu menjadi perwakilan Indonesia dalam Muktamar Masjid di luar negeri. Dalam perjalanannya ke luar negeri ini beliau selalu ditemani Rusydi untuk membantu beliau dalam berbicara bahasa inggris.
Kejadian-kejadian yang menyertai kehidupan Buya Hamka sangat mengharukan. Ketika beliau harus ditahan selama 2 tahun 6 bulan atas isu PKI yang menuduh beliau melakukan plagiat terhadap bukunya yang berjudul “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck”. Selain itu adanya isu kristenisasi yang dilakukan oleh golongan Yahudi yang menghalalkan segala cara melalui beras dan uang. Namun, Buya Hamka tak pernah gentar dalam memerangi umat yang akan memecah persatuan umat islam. Perkataan beliau yang saya paling sukai dalam menghadapi masalah ini adalah:
Umat islam harus punya harga diri “muru’ah”
Jangan lengah dan lali dalam wawasan
Agar bisa berdiskusi dengan banyak kalangan
Terutama umat yang hendak memecah persatuan umat islam
Muru’ah disini berarti menjaga martabat dan harga diri dimulai dengan menilik-nilik kekurangan-kekurangan diri sendiri kemudian menyempurnakan kekurangan itu dengan menambah ilmu dan pergaulan sedalam dan seluas mungkin.
Di dalam "Jembatan Umat dan Pemerintah" digambarkan bahwa ketika MUI didirikan pemerintah dan beliau dilantik sebagai Ketua 27 Juli 1975, Buya mengatakan, “Kami ini bagaikan kue bika, di bakar antara dua bara api yang panas; di atas pemerintah dan di bawah umat”. Perumpamaan itu menggambarkan seakan Buya ingin mengatakan bahwa tidak selalu keinginan pemerintah yang ingin menjadikan MUI sebagai jembatan antara pemerintah dan umat, akan memberikan kenyaman kepada MUI. Sebab kadang kala, di balik kehendak pemerintah supaya masyarakat berpartisipasi aktif di dalam pembangunan, tetapi tidak semua pembangunan itu sesuai dengan aspirasi umat dan kadang bertentangan. Di situlah MUI menghadapi masalah yang diibaratkan sebagai kue bika tadi. Contohnya ketika pemerintah meminta fatwa bolehnya bebas menghadiri ibadah dan perayaan natal bagi kaum muslimin. Bagi Buya   tentu saja untuk hal-hal yang prinsipil tidak boleh ada toleran. Ada fatwa yang dia tandatangani sebagai Ketua Umum MUI haramnya kaum muslimin hadir dalam perayaan dan ibadah natal kaum nashrani. Sebagaimana yang sudah kita maklumi, ketika fatwa itu diminta untuk diralat, beliau mundur sebagai Ketua MUI.
            Hal yang perlu kita teladani dari buku ini adalah mencontoh segala perbuatan baik yang dilakukan Buya Hamka. Keberanian beliau dalam menegakkan kebenaran dan ketegasannya menentang siapapun yang bersikap salah. Kesabaran Buya Hamka dalam menghadapi fitnah dan cobaan yang menerpa. Selain itu, keteguhan beliau dalam mempertahankan keutuhan umat islam yang akan dipecah-belah oleh golongan Yahudi. Selanjutnya mengharuskan para pemuda untuk semangat menulis, karena banyak sekali manfaatnya dalam pengembangan diri.


Pribadi dan Martabat Buya Hamka Pribadi dan Martabat Buya Hamka Reviewed by Siti Dianur Hasanah on October 05, 2017 Rating: 5

No comments

Advertisement