Soekarno: Paradoks Revolusi Indonesia




Soekarno: Paradoks Revolusi Indonesia
Seri Buku Tempo
Jumlah Halaman  X+24:

Buku ini merupakan seri buku Tempo yang dikarang oleh tim editor dari Tempo Penerbit. Buku ini adalah pemaparan dari beberapa sumber saksi hidup, yang salah satunya, Heldy Djafar. Heldy Djafar merupakan istri terakhir dari Soekarno yang baru terkuat setelah wafatnya Soekarno. Menurut buku ini, Soekarno memiliki 9 istri sah yang cukup dikenal publik. Kesembilan wanita tersebut adalah: Oetari Tjokroaminoto (putri H.O.S. Tjokroaminoto, Inggit Garnasih, Fatmawati, Hartini, Dewi Soekarno, Haryati, Yurike Sanger, Kartini Manoppo, dan Heldy Djafar.Yang tidak dikenal ditengarai ada beberapa, termasuk salah satu mantan hostesu Jepang bernama Sakiko yang bunuh diri pada 30 September 1959 karena Soekarno lebih memilih Dewi yang juga mantan hostesu. Tidak semua pernikahan tersebut langgeng dan dikaruniai keturunan.
Bung Karno memang dikenal sebagai penakluk wanita. Gelar internasionalnya adalah “Le Grand Seducteur”. Menurut Bambang Widjanarko, sang ajudan, daya tarik dan taraf intelektual Soekarno memikat banyak wanita. Heldy Jafar sebagai istri terakhir dinikahi Bung Karno saat usianya masih 18, setahun sebelum Soekarno jatuh dan dijadikan tahanan rumah. Beda usia di antara keduanya 48 tahun. Dalam penahanan, Bung Karno tak lupa mengiriminya sebuah surat pendek yang disertai dengan uang dan beberapa botol parfum. Dalam buku, foto dan teks surat tersebut dimunculkan.
Selain petualangannya dengan wanita, buku ini juga membahas masuknya Megawati dalam dunia politik. Awalnya Mega tidak sekali pun diprediksi akan meneruskan karir sang ayah. Justru Guntur, kakaknya, yang selama ini disebut mewarisi pesona dan jiwa politik sang Bung yang kelihatannya akan memasuki dunia yang sama. Mega mulai masuk ke dunia politik tahun 1987 saat Soerjadi, Ketua Umum PDI mengajaknya. Romantisme akan Soekarno lewat keberadaan Mega cukup mampu mendongkrak popularitas PDI yang kemudian malah membuat resah Soeharto. Berkomplot dengan Soerjadi, Soeharto mencoba menggulingkan Mega. Semuanya bermuara pada peristiwa berdarah 27 Juli 1996.
Hal lain yang disinggung adalah kecintaan Bung Karno akan seni, terutama seni lukis. Bung Karno memilki koleksi sekitar 3000 karya seni. Pilihan Bung Karno adalah seni lukis beraliran romantik atau realistis, walaupun ia juga mengoleksi beberapa karya Affandi. Dalam mendukung dunia seni, Bung Karno berpedoman bahwa seni adalah kemerdekaan berekspresi yang sebenarnya sangat bertolak belakang dengan beberapa keputusannya di era Demokrasi Terpimpin.
Hal lain yang menarik adalah bagian wawancara dengan Lambert Giebels, penulis biografi Soekarno Soekarno, 1901-1950. Di salah satu esei, Bonnie Triyana sempat menyoroti gaya tutur Giebels yang cenderung mengcounter apa yang dikatakan Soekarno dalam otobiografinya Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat tulisan Cindy Adams. Giebels nampak mencari-cari kebohongan dan kelemahan Soekarno. Salah satunya ketika membahas surat permohonan maafnya pada Gubernur Jenderal terkait peristiwa pembuangannya ke Ende. Bukti keberadaan surat ini masih kontroversial. Hal lainnya adalah soal romusha. Soekarno ia anggap bertanggung jawab akan kematian ribuan nyawa saat romusha. Soekarno memang mengucapkan permintaan maaf untuk pertanggung jawabannya dalam pengorganisasian romusha dalam otobiografinya. Namun ia mengatakannya beberapa tahun kemudian, seperti memberi jarak dengan waktu terjadinya peristiwa.
Giebels sendiri berpendapat bahwa selain praktik romusha, Soekarno juga terlibat dalam pemberontakan Pembela Tanah Air (PETA) di Blitar yang menimbulkan banyak kasus pemerkosaan terhadap perempuan Cina dan Belanda. Soekarno pernah menawarkan diri menjadi juri dalam kasus pemberontakan tersebut namun Jepang menolaknya karena kasus tersebut akan mempengaruhi posisi Soekarno di kemudian hari.
Terkait revolusi Indonesia, Giebels menyebutnya sebagai tindakan anarkis. Hal ini berbeda dengan pandangan Ben Anderson dan Jan Bank yang menganggap bahwa tindakan anarkis pada 10 November yang termasuk di dalamnya penjarahan, pemerkosaan, dan perampokan sebagai awal revolusi sosial. Giebels murni menyebutnya sebagai anarkisme. Pendapat ini didasarkan pada kesaksian korban dari pihak Belanda dan Indo. Sebagai referensi, ia menggunakan buku Anthony Reid dan Oki Akari (editor) dalam  The Japanese Experience in Indonesia: Selected Memoirs 1942-1945, catatan harian karangan sejarawan J. de Jong Het Koninkrijk der Nederlanden in de Tweede Wereldoorlog, buku Willy Meelhuysen Revolutie in Soerabaja, dan penilaian diplomat David Wehl dalam The Birth of Indonesia. Pemimpin republik ini dianggap tidak mampu mengendalikan maupun menghentikannya.
Terlepas dari semua pro dan kontra tentang Soekarno, ia tetaplah seorang bapak bangsa yang ide-ide dan perjuangannya menjadi dasar dibangunnya negara ini. Mungkin Bung Hatta benar saat mengatakan bahwa Soekarno adalah kebalikan tokoh Memphistopheles dalam karya Goethe, “Faust”. Menurut Hatta, “Tujuan Soekarno selalu baik, tapi langkah-langkah yang diambilnya sering menjauhkannya dari tujuan itu.”

Soekarno: Paradoks Revolusi Indonesia Soekarno: Paradoks Revolusi Indonesia Reviewed by Siti Dianur Hasanah on February 24, 2018 Rating: 5

No comments

Advertisement